Goresan Pena oleh : Dinni Syafriyuni
Jika kita melakukan sesuatu tanpa didasari dengan cinta, maka ia akan terasa hambar. Rasanya hanya bisa dinikmati oleh ujung lidah tanpa sedikitpun menikmati keseluruhannya. Yuk, kita hadirkan cinta disetiap rangkaian huruf yang tersusun menjadi kata, tidak ada unsur paksaan apalagi tekanan. Jika kita menulis hanya karena cinta kita kepada-Nya, maka kita bisa merasakan betapa lezatnya setiap kata yang tersusun didalam tulisan.
Jika kita menulis
karena ego ingin dipuji. Percaya lah ia tak akan bertahan lama, semua
tergantung niatnya. Jika kita meniatkan segala sesuatu hanya karena Lillahi
Ta’ala maka Sang Maha Penguasa Alam akan memberkahi setiap kata yang kita
torehkan di secarik kertas.
Misalnya: jika kita
mengikuti event perlombaan atau sayembara menulis, diniatkan hanya karena,
ingin juara dan mendapat e-sertifkat. Maka, ketika pengumuman kontributor
terpilih nama kita tidak ada disana alias naskah kita ditolak atau gagal. Kita pasti
akan kecewa berat, hati tersakiti, rasanya tertikam oleh jeruji besi. Pedihnya
tak dapat dilukiskan oleh kata-kata. Rasanya hati ingin berontak keras,
menyalahkan keadaan, memecahkan sesuatu yang kita gengam dan ada rasa iri
terhadap teman literasi yang karya naskahnya lolos.
Begitulah, jika kita
meniatkan mengikuti event perlombaan itu hanya karena ingin dipuji. Tak
sadarkah kita? Tuhan sedang menguji kesabaran kita, tak selalu yang kita
inginkan bisa tercapai. Bukankah jika kita ingin berhasil, maka kita harus
gagal dulu berkali-kali? Tidak ada yang instan bukan?
Ya, aku mengatakan
ini semua karena, aku pun pernah gagal berkali-kali dalam event perlombaan
menulis. Aku banyak belajar darinya, bertahun-tahun aku mengikutinya. Typo yang
sangat sering aku lakukan, penempatan huruf besar dan kecil yang salah,
syarat-syarat perlombaan yang mungkin belum ditaati sepenuhnya, dan lainnya.
Mungkin kita akan
menganggap remeh perihal ‘syarat’ padahal perkara ini sangat penting untuk
dinilai oleh juri. Sedikit cerita, aku punya teman literasi juga, dia sangat
jago menulis. Tulisannya sangat indah, gaya bahasanya kece badai dan idenya pun
kreatif. Hingga aku mengusulkan untuk mencoba mengikuti event perlombaan
menulis sebagai ajang pembelajaran diri. Ternyata ia menolak, karena dia tipe
orangnya praktis tidak suka yang ribet-ribet, termasuk ia enggan untuk mentaati
segala aturan yang di sepakati oleh Penerbit.
Ya, yang penting
tugasku untuk mengingatkan sudah lunas masalah terima atau nggaknya dia lagi
yang ambil kesimpulan kan? So, kita nggak bisa paksa seseorang menjadi seperti
apa yang kita mau. Karena, kita bukan sang hakim. Semua orang berbeda karakter.
Hargailah setiap orang.
Emang sih salah satu
syarat perlombaan menulis yang membuat kita ribet menurutku yang masih pemula
di dunia literasi ini adalah membuat tulisan minimal 3 halaman dan biodata
narasi minimal 50 kata tidak boleh lebih, dulu aku juga binggung sendiri.
Bagaimana cara mempersingkat atau memperkecil ide cerita disebuah tulisan.
Merangkai kata sedemikian cantik dan indahnya dan menghadirkan cinta melalui
tulisan.
Hingga, aku belajar
dari kegagalan berkali-kali dan akhirnya aku tahu dimana letak kesalahanku. Dan
aku tak ingin terjebak di lubang yang sama. Untuk itulah aku ingin berbagi
sesama sobat Forum Lingkar Pena (FLP) Takengon dan saudara/i yang meluangkan
waktu membaca coretan ini. Khususnya, coretan sederhana ini ku dedikasikan buat
cambukan diriku sendiri, agar semangat senantiasa menyala untuk meninggalkan
jejak coretan di kehidupan nan fana ini dan bisa menjadi kenang-kenangan
dikemudian hari, juga mengharap ridha Tuhan. Ya, hanya karena Dia semata bukan
karena siapa-siapa.
Biodata
Dinni Syafriyuni.
Tinggal di dataran tinggi Tanoh Gayo, kabupaten: Aceh Tengah. Kota ini
dijuluki Negeri di atas Awan. Usia 25 tahun. Pecinta percikan air dan hobi berpetualang ini bisa dihubungi via facebook: Dinni Syafriyuni. E-mail: dinnisyafriyuni@gmail.com.
Beberapa goresan pena nya telah terbit dibeberapa buku Antologi. Masih anak bawang dalam wadah komunitas Forum Lingkar Pena Takengon. Mari torehkan goresan pena, sebagai jejak literasi kita.
Beberapa goresan pena nya telah terbit dibeberapa buku Antologi. Masih anak bawang dalam wadah komunitas Forum Lingkar Pena Takengon. Mari torehkan goresan pena, sebagai jejak literasi kita.